MenjadiPengaruh.com – Sebelum membahas perbedaan antara perusahaan PKP dan non PKP, mari kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
PKP adalah pengusaha yang, sesuai dengan Undang-Undang, melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak.
Definisi ini terdapat dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Jadi, perusahaan PKP adalah yang telah diakui sebagai Pengusaha Kena Pajak. Namun, kebijakan ini tidak mencakup pengusaha kecil, kecuali jika mereka secara sukarela ingin menjadi PKP.
Di sisi lain, perusahaan non PKP adalah yang belum diakui sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Oleh karena itu, perusahaan ini tidak diwajibkan membayar atau melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn), meskipun mereka terlibat dalam penyerahan barang atau jasa yang termasuk dalam kategori yang dikenai pajak mengutip dari Pakar.
Jika perusahaan non PKP berminat menjadi PKP, langkah-langkahnya melibatkan pendaftaran ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
Beberapa persyaratan perlu dipenuhi, termasuk batasan omzet tahunan sebesar Rp 4.800.000.000.
Perusahaan PKP memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPn, terutama jika omzet melebihi Rp 4.800.000.000 per tahun.
Namun, perusahaan non PKP tidak memiliki kewajiban tersebut, kecuali jika mereka memutuskan untuk menjadi PKP.
Secara umum, perbedaan antara perusahaan PKP dan non PKP terletak pada hak dan kewajiban pajak mereka.
Untuk pemahaman yang lebih mendalam, kita perlu memahami lebih lanjut tentang hak dan kewajiban PKP.
Daftar Isi
ToggleHak, Kewajiban, dan Pajak Bagi PKP serta Non PKP
Bagi perusahaan yang telah diakui sebagai PKP atau yang kecil namun memilih menjadi PKP, ada beberapa tanggung jawab yang harus diemban, seperti:
- Wajib mengumpulkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn)/PPnBM yang terutang
- Harus menyetor PPn/PPnBM yang masih kurang dibayar, jika pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan.
- Melaporkan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPn/PPnBM yang terutang.
Namun, selain dari kewajiban tersebut, perusahaan PKP juga memiliki hak-hak tertentu, termasuk:
- Berhak atas pengkreditan pajak masukan atau pembelian barang/jasa.
- Dapat mengajukan restitusi atau kompensasi atas kelebihan pembayaran PPn.
Apa Saja Keuntungannya?
Status PKP juga memberikan beberapa keuntungan, seperti dianggap memiliki sistem yang baik secara hukum, dihormati karena ketaatan pajak, mendapat kepercayaan untuk bertransaksi dengan pemerintah, dan memungkinkan peningkatan pola produksi dan investasi.
Di sisi lain, perusahaan non-PKP yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar dalam satu tahun tidak memiliki kewajiban membayar pajak PPn atau melaporkan SPT Masa PPn dilansir dari Ebola.co.id.
Hal ini sejalan dengan peraturan PMK Nomor 197/PMK.03/2013, yang bertujuan mendorong perusahaan dengan omzet rendah untuk berkontribusi pada skema Pajak Penghasilan (PPh) Final.
Perusahaan non-PKP tidak diizinkan untuk memungut PPn atau menerbitkan faktur pajak, sesuai dengan larangan dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 39A.
Pelanggaran terhadap larangan ini dapat mengakibatkan pidana penjara dan denda.
Kesimpulan
Dengan demikian, perusahaan PKP dan non-PKP memiliki perbedaan dalam kewajiban, hak, dan keuntungan pajak mereka.
Jika perusahaan berminat menjadi PKP, mereka dapat mengajukan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk mendapatkan status tersebut.
Proses pengajuan biasanya memakan waktu maksimal lima hari kerja setelah persyaratan lengkap. Setelah diterima, perusahaan akan menerima Surat Keputusan (SK) PKP.